Kisah seorang wanita asal Prancis, keturunan Yahudi, bernama Catherine Perez-Shakdam mendadak menjadi perbincangan hangat di media internasional dan Iran. Perempuan yang dikenal sebagai jurnalis, analis politik, dan komentator isu-isu Asia Barat dan dunia Islam ini, ternyata menyimpan agenda rahasia di balik kiprahnya yang sempat dipercaya banyak kalangan di Tehran.
Selama beberapa tahun terakhir, Catherine dikenal sebagai kontributor tetap di berbagai media sayap kanan Iran seperti Mashregh News, Tasnim News, dan Mehr News. Bahkan, ia sempat menulis artikel di situs resmi Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yakni Khamenei.ir. Keberadaannya yang seolah pro-Iran dan vokal menyerang Barat membuatnya dianggap bagian dari lingkaran dalam elite politik keagamaan Iran.
Pada 2017, Catherine melakukan perjalanan ke Iran dan berhasil mendapatkan akses istimewa. Ia bahkan sempat mewawancarai Ebrahim Raisi yang kala itu masih menjadi kandidat presiden. Tidak hanya itu, Catherine turut mendampingi Raisi dalam kunjungan kampanyenya ke kota Rasht, sebuah kepercayaan besar yang jarang diberikan kepada jurnalis asing.
Dalam blog pribadinya di The Times of Israel pada November 2021, Catherine membuat pengakuan mengejutkan. Ia menyatakan telah bercerai dan tidak lagi memeluk Islam. Lebih dari itu, Catherine menyiratkan bahwa seluruh identitas dan aktivitasnya sebagai muslim radikal hanyalah bagian dari strategi infiltrasi ke jantung kekuasaan Iran.
Catherine menjelaskan bahwa kepercayaan dari elite Iran padanya diperoleh berkat kewarganegaraan Prancis serta status pernikahannya dengan seorang pria Muslim. Ia bahkan mengaku diundang secara khusus oleh tokoh penting Revolusi Iran yang pernah menempuh pendidikan di Amerika Serikat, sebuah jaringan dalam yang selama ini tak mudah ditembus.
Pada Februari 2022, sebuah kanal Telegram pro-Mahmoud Ahmadinejad menerbitkan artikel berdasarkan pengakuan Catherine di The Times of Israel. Artikel itu menuding bahwa level tertinggi pemerintahan Iran telah disusupi mata-mata Israel. Dampaknya langsung terasa, berbagai media sayap kanan Iran buru-buru menghapus semua artikel yang pernah ditulis oleh Catherine.
Tidak hanya itu, media-media tersebut juga segera menyangkal pernah bekerja sama dengan Catherine. Padahal, selama bertahun-tahun, tulisan-tulisannya yang radikal kerap dijadikan rujukan oleh kalangan garis keras Iran untuk menyerang Barat dan Israel. Fakta bahwa mereka sempat mempercayainya menambah aib tersendiri bagi sistem keamanan dalam negeri Iran.
Dalam tulisan di blognya, Catherine juga menyatakan ketidaksukaannya terhadap Islam, khususnya terhadap pandangan agama itu terhadap perempuan. Ia menulis bahwa selama berada di Iran, dirinya tak pernah memperdebatkan hal itu secara terbuka, melainkan bersandiwara dan membangun kepercayaan perlahan-lahan.
Di balik layar, Catherine ternyata berhasil memasuki area-area privat di rumah-rumah pejabat tinggi Iran, tempat di mana biasanya sistem keamanan sangat ketat diberlakukan. Sementara aparat Iran sibuk memeriksa telepon dan tamu lain, Catherine diam-diam memotret, mencatat, dan mengumpulkan informasi penting yang kemudian dikirim langsung ke Mossad.
Nama Catherine belakangan juga dikaitkan dengan serangkaian serangan akurat terhadap fasilitas strategis Iran dalam beberapa tahun terakhir. Banyak pihak di Iran mulai meyakini bahwa keakuratan serangan-serangan tersebut seperti hanya mungkin dilakukan bila ada orang dalam yang memberikan peta dan informasi rinci.
Dalam banyak laporan, Catherine disebut bukan sekadar mata-mata biasa. Ia dikenal cantik, cerdas, berani, dan piawai bersandiwara. Pesonanya mampu membuat aparat keamanan Iran yang terkenal ketat, lengah dan memberikan akses yang bahkan tak bisa didapat oleh jurnalis asing lain.
Seiring memanasnya hubungan Iran dan Israel, sejumlah pejabat tinggi Iran dikabarkan sempat berpindah lokasi demi keamanan. Namun tetap saja, tiap kali serangan terjadi, targetnya selalu tepat sasaran. Kecurigaan bahwa ada mata-mata internal pun kian menguat, dan nama Catherine menjadi sorotan.
Beberapa media luar seperti India.com memberitakan Catherine sebagai agen Mossad wanita paling berbahaya yang pernah berhasil menyusup hingga ke jantung pemerintahan Iran. Ia dijuluki ‘Mossad’s deadly female spy’ karena dinilai punya peran penting di balik kekacauan internal yang kini dihadapi Iran.
Catherine awalnya mengaku hanya tertarik mempelajari Islam dan ingin memahami lebih dalam komunitas Syiah. Ia lalu berpura-pura menjadi mualaf dan mulai berinteraksi intens dengan istri-istri pejabat Iran, hingga akhirnya diterima di lingkaran sosial yang sangat eksklusif dan penuh rahasia.
Keberhasilannya meretas lingkungan elite Iran dianggap sebagai salah satu kegagalan keamanan terbesar dalam sejarah Republik Islam itu. Apalagi hingga kini belum ada keterangan resmi dari pemerintah Iran mengenai sejauh mana kerugian akibat kebocoran data yang ditimbulkan oleh Catherine.
Kasus Catherine Perez-Shakdam juga kembali membuka perdebatan tentang celah keamanan di tubuh pemerintahan Iran, terutama terkait standar penerimaan warga asing dalam lingkungan elite politik. Banyak pihak di Iran mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi total terhadap protokol keamanan negara.
Walaupun Catherine kini dikabarkan telah menghilang tanpa jejak, kisahnya masih menjadi topik utama di berbagai kanal diskusi politik Timur Tengah. Banyak pihak menduga ia kini berada di bawah perlindungan intelijen Israel atau di negara ketiga yang aman dari jangkauan Iran.
Nama Catherine Perez-Shakdam diperkirakan akan terus menjadi bayang-bayang hitam dalam sejarah politik dalam negeri Iran. Ia bukan hanya menjadi simbol kelengahan aparat keamanan, tapi juga peringatan bagi negara-negara di kawasan akan pentingnya kewaspadaan terhadap infiltrasi intelijen asing.
Tidak ada komentar
Posting Komentar