Menguak Jejak Dina Arobi di Pulau Mauritius

Share:

Port Louis – Sebelum dikenal sebagai Mauritius, pulau eksotis di Samudra Hindia ini memiliki nama yang tak banyak orang tahu: Dina Arobi, atau dalam bahasa Arab Dunya al-‘Urubah, yang berarti “Dunia Arab”. Nama ini tercatat dalam berbagai catatan pelayaran dan sejarah kuno sebagai penanda penting interaksi budaya, perdagangan, dan pelayaran dari dunia Islam dan Asia Tenggara ke wilayah-wilayah selatan Samudra Hindia.

Catatan sejarah menyebut bahwa sejak abad ke-10, para pelaut dari berbagai bangsa seperti Fenisia, Melayu, Swahili, hingga pelaut Arab telah mengunjungi pulau ini. Mereka bukan hanya sekadar singgah, tetapi meninggalkan jejak budaya dan nama yang lekat dalam ingatan sejarah: Dina Arobi. Pulau ini menjadi titik penting dalam rute pelayaran antara Afrika Timur, India, dan Nusantara.

Pelayaran yang melintasi Samudra Hindia saat itu tidak hanya bersifat niaga, tetapi juga mempererat hubungan diplomatik dan kebudayaan. Pulau-pulau seperti Dina Arobi menjadi tempat pertukaran barang, bahasa, teknologi pelayaran, hingga ideologi dan kepercayaan. Para pelaut membawa serta budaya maritim dari asal mereka, termasuk dari wilayah Nusantara.

Nama Dina Arobi pertama kali tercatat dalam peta kuno yang menunjukkan jalur pelayaran yang dilalui para pelaut Muslim dan Asia. Peta-peta itu menunjukkan keberadaan pulau di tengah Samudra Hindia sebagai tempat strategis yang kerap disinggahi untuk mengisi logistik, memperbaiki kapal, hingga berdagang rempah dan kerajinan tangan.

Baru pada tahun 1510, penjelajah Portugis Pedro Mascarenhas menjejakkan kaki di pulau ini dan memberinya nama Cirné. Namun, Portugis hanya menjadikan pulau itu sebagai pelabuhan singgah tanpa membangun permukiman tetap. Sementara itu, jejak-jejak pelaut Muslim dan Nusantara tetap terasa dalam nama-nama dan kisah lisan masyarakat lokal.

Dalam berbagai literatur sejarah dan antropologi, disebutkan bahwa interaksi dengan pelaut Arab dan Asia meninggalkan pengaruh terhadap bahasa lokal, pola bercocok tanam, dan struktur sosial masyarakat awal Mauritius. Meskipun tidak membangun koloni, mereka memberikan sumbangsih dalam bentuk ilmu dan tradisi laut yang berkelanjutan.


Dalam Konferensi Tingkat Tinggi IORA (Indian Ocean Rim Association) yang digelar di Jakarta pada 2017, kisah pelayaran agung dari Nusantara kembali diangkat ke permukaan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pameran sejarah yang menggambarkan perjalanan pelaut-pelaut Nusantara yang sejak abad ke-4 hingga ke-9 telah mengarungi samudra menuju Afrika dan Madagaskar.

Pameran tersebut menampilkan peta klasik, artefak maritim, hingga foto-foto yang merekonstruksi perjalanan para pelaut Jawa melalui Samudra Hindia. Di antara rute-rute legendaris tersebut, Dina Arobi atau Mauritius menjadi titik singgah penting yang menghubungkan Nusantara dengan Afrika Timur dan Jazirah Arab.

Pelayaran agung ini diilustrasikan melalui replika kapal Samuderaksa Borobudur, yang dipercaya pernah melayari jalur epik dari Jawa menuju Madagaskar dan Afrika. Kapal itu menggambarkan kejayaan teknologi maritim Nusantara yang mampu melintasi samudra luas dengan navigasi bintang dan angin muson.


Menteri Pariwisata saat itu, Arief Yahya, menyampaikan bahwa kisah pelayaran agung ini seharusnya menjadi bagian penting dari sejarah maritim dunia. Melalui pameran di IORA, Indonesia berupaya menunjukkan bahwa bangsa maritim Nusantara memiliki peran besar dalam menjembatani peradaban antara Timur dan Barat melalui jalur laut.

Dina Arobi menjadi bukti bahwa hubungan antara Nusantara dan pulau-pulau di Samudra Hindia bukanlah cerita baru. Ini adalah kisah panjang tentang keberanian, pengetahuan, dan hubungan antarbangsa yang dimulai jauh sebelum kolonialisme Barat menginjakkan kaki di kawasan ini.

Nama Dina Arobi mengandung makna simbolik bahwa pulau ini pernah menjadi bagian dari dunia Arab dan Asia, yang menjadikan laut bukan sekadar pemisah, tetapi jembatan budaya dan perdagangan. Sisa-sisa pengaruh itu masih dapat ditemukan dalam bentuk budaya, bahasa, dan tradisi masyarakat Mauritius hari ini.

Meskipun kolonialisme mengubah nama-nama dan sistem sosial pulau tersebut, jejak sejarah seperti Dina Arobi tetap hidup dalam catatan peta kuno dan kisah para pelaut. Nama itu menjadi pengingat akan masa di mana Samudra Hindia menjadi ruang pertemuan dan persaudaraan antarbangsa.

Bagi sejarawan dan peneliti maritim, kisah Dina Arobi membuka ruang diskusi tentang pentingnya narasi maritim dalam sejarah dunia Islam dan Asia Tenggara. Bahwa pelayaran bukan hanya aktivitas ekonomi, melainkan perwujudan semangat petualangan, diplomasi, dan pertukaran budaya.

Kini, nama Dina Arobi mulai kembali diperbincangkan dalam diskursus sejarah global, terutama dalam kerangka memulihkan identitas maritim bangsa-bangsa Samudra Hindia. Beberapa akademisi di Mauritius dan Indonesia mulai meneliti kembali relasi sejarah ini secara lebih mendalam.

Dalam konteks kekinian, kisah Dina Arobi menjadi inspirasi untuk membangun koneksi baru antarnegara Samudra Hindia. Kerja sama bidang maritim, budaya, dan pariwisata menjadi bentuk kontemporer dari semangat pelayaran agung yang pernah menyatukan wilayah-wilayah ini berabad-abad silam.

Pulau Mauritius hari ini mungkin telah berubah wujud menjadi negara modern dengan infrastruktur canggih dan penduduk multikultural. Namun, di balik modernitas itu tersimpan warisan sejarah yang agung. Dina Arobi bukan sekadar nama lama, melainkan jendela menuju pemahaman yang lebih dalam akan akar hubungan peradaban.

Kisah Dina Arobi menjadi salah satu bab penting dalam sejarah pelayaran dunia yang mengaitkan Afrika, Arab, dan Asia Tenggara. Ia mengajarkan bahwa pertemuan budaya telah terjadi jauh sebelum zaman globalisasi, dan bahwa laut telah lama menjadi penghubung, bukan penghalang.

Post a Comment

Tidak ada komentar