Perang Merayap SDF di Suriah Melemahkan Damaskus

Share:

Strategi perebutan wilayah di Suriah paska lengsernya Bashar Al Assad, kembali menjadi sorotan setelah Pasukan Demokratik Suriah atau SDF menerapkan pola perang yang tidak mencolok namun efektif. Alih-alih melakukan ofensif besar terhadap Damaskus, SDF memilih jalur perang atrisi yang berlangsung perlahan, terukur, dan sulit dipatahkan oleh negara.

Pendekatan ini mengingatkan pada taktik “salami”, yakni mencaplok wilayah sedikit demi sedikit tanpa memicu reaksi militer besar. Dalam praktiknya, SDF tidak mengumumkan target strategis besar, tetapi fokus pada desa-desa kecil yang secara militer tampak tidak menentukan, namun bernilai penting dalam jangka panjang.

Di wilayah pedesaan Suriah utara dan timur, SDF mulai dengan mencaplok desa-desa baru yang berada di pinggiran pengaruh Damaskus. Perebutan ini sering terjadi tanpa pertempuran besar, memanfaatkan kekosongan keamanan, kesepakatan lokal, atau tekanan psikologis terhadap aparat negara.

Setiap desa yang jatuh kemudian dijadikan titik logistik dan observasi. Dari sana, SDF memperluas pengaruhnya secara bertahap, membangun jaringan administratif, keamanan lokal, dan struktur sipil yang mengunci wilayah tersebut dari upaya perebutan ulang oleh pemerintah pusat di bawah pimpinan Ahmed Al Sharaa.

Sementara itu, di Aleppo, SDF, yang didukung penuh oleh AS dkk meski di depan umum mengaku ingin satukan SDF di bawah Kementerian Pertahanan Suriah yang baru, memainkan peran berbeda. Di kawasan Sheikh Maqsood, kehadiran mereka bukan semata untuk ekspansi wilayah, melainkan untuk mengganggu konsentrasi pasukan keamanan Suriah. Ketegangan yang terus dijaga di kantong ini memaksa Damaskus mempertahankan pasukan dalam kondisi siaga tinggi.

Gangguan di Sheikh Maqsood menciptakan efek berantai. Pasukan Suriah harus membagi perhatian antara garis depan lain, keamanan internal kota Aleppo, dan wilayah pedesaan yang perlahan direbut SDF. Situasi ini memperlemah kemampuan negara untuk melakukan operasi ofensif terpadu, sekaligus melemahkan upaya untuk mempertahankan diri dari pencaplokan wilayah baru okeh Israel di Qunaitra di luae Golan.

Di saat yang sama, SDF memainkan perang narasi yang konsisten. Akun resmi mereka di media sosial hampir selalu menampilkan diri sebagai pihak yang terzalimkan. Setiap bentrokan digambarkan sebagai serangan sepihak oleh “kelompok bersenjata” pro-Damaskus terhadap warga sipil.

Narasi ini bukan tanpa tujuan. Dengan membingkai diri sebagai korban, SDF memperoleh legitimasi politik dan simpati internasional, sekaligus menekan Damaskus agar berhati-hati dalam menggunakan kekuatan militer terbuka, baik untuk membela diri maupun ofensif yang dapat berujung kecaman global.

Perang atrisi yang dijalankan SDF tidak bertumpu pada kemenangan cepat. Justru sebaliknya, strategi ini dirancang untuk melelahkan negara secara struktural. Damaskus dipaksa mengeluarkan biaya keamanan tinggi tanpa hasil teritorial yang jelas.

Desa demi desa yang dicaplok memperpanjang garis konflik. Setiap titik baru memerlukan respons administratif dan militer, yang pada akhirnya membebani negara yang sudah terkuras oleh perang panjang dan sanksi ekonomi.

Dalam konteks ini, SDF memanfaatkan realitas Suriah pascaperang. Negara tidak lagi memiliki kapasitas penuh untuk memobilisasi kekuatan besar dalam satu arah tanpa mengorbankan wilayah lain. Celah inilah yang dieksploitasi secara sistematis.

Pendekatan tersebut mencerminkan perang posisi modern. Garis depan tidak selalu bergerak cepat, tetapi berubah melalui tekanan konstan, infiltrasi sosial, dan dominasi narasi. Kemenangan diukur bukan dari ibu kota yang direbut, melainkan dari wilayah yang tak lagi dapat dikendalikan negara.

Sheikh Maqsood menjadi simbol dari tekanan psikologis itu. Selama kawasan tersebut tetap tegang, Aleppo tidak pernah benar-benar aman. Hal ini mengurangi kemampuan Damaskus menjadikan Aleppo sebagai pusat stabilisasi nasional atau motor ekonomi penggerak perekonomian Suriah.

Di luar medan tempur, perang media menjadi senjata penting. Setiap insiden kecil diperbesar, setiap respons militer negara dilabeli sebagai kekerasan, dan setiap konsesi dibingkai sebagai bukti kelemahan pemerintah pusat.

Tiga jalur ini—ekspansi desa, gangguan keamanan kota, dan dominasi narasi—saling menguatkan. Ketiganya menciptakan kebingungan strategis di tingkat pusat, karena tidak ada satu ancaman besar yang bisa dihancurkan sekaligus.

Damaskus menghadapi dilema. Operasi militer besar berisiko eskalasi politik dan internasional, sementara pembiaran akan memperluas kehilangan wilayah secara perlahan namun pasti.

Hingga kini, kebingungan itu masih terasa. Tidak ada solusi cepat untuk menghadapi perang atrisi yang tidak mencari kemenangan spektakuler, tetapi kelelahan jangka panjang lawan.

Strategi SDF menunjukkan bahwa dalam konflik modern, kekuatan negara tidak selalu ditantang dengan tank dan jet tempur. Kadang, desa kecil, gang sempit, dan unggahan media sosial justru menjadi senjata paling efektif.

Perang Suriah pun memasuki fase baru, di mana garis kedaulatan dikikis bukan oleh satu serangan besar, melainkan oleh tekanan terus-menerus yang nyaris tak terlihat.

Jika pola ini berlanjut, Suriah berisiko menghadapi fragmentasi yang semakin mengeras. Bukan karena kekalahan militer terbuka, tetapi karena kalah dalam perang ketahanan yang senyap namun menghancurkan.

Pada 2025, tekanan terhadap Suriah semakin kompleks karena negara ini juga masuk dalam daftar tujuh target utama serann terorisme Israel di bernagai negara. Selain genosida terhadap warga Palestina di Gaza, persekusindan pembantaian di Tepi Barat, pemboman ilegal di Lebanon, serangan ke Iran, pemboman di Qatar, dan pembunuhan PM dan Kabinet pemerintahan Houthi di Yaman, wilayah Suriah—khususnya Qunaitra di luar Dataran Tinggi Golan serta dukungan ke separatis Druze milisi Al Hajri di Suwaida—menjadi bagian dari proyek neo kolonialisme Greater Israel.

Serangan dan aktivitas militer Israel di sekitar Qunaitra menambah beban strategis Damaskus. Di tengah perang atrisi melawan SDF dan tekanan internal, Suriah harus menghadapi ancaman eksternal yang konsisten, menciptakan situasi di mana negara terjepit dari dalam dan luar secara bersamaan.

Tidak ada komentar