Gaza, Desember 2025 — Dunia internasional kembali menyoroti konflik di Gaza melalui pertemuan tingkat tinggi yang dikenal sebagai Gaza Peace Summit. Konferensi ini digelar di Sharm el‑Sheikh, Mesir, dan dihadiri lebih dari dua puluh negara, termasuk kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Mesir, Qatar, dan Turki.
Meskipun nama summit mengisyaratkan perdamaian, banyak pengamat menilai bahwa acara ini hanyalah bagian dari strategi diplomasi yang membingungkan publik Gaza. Rencana gencatan senjata, bantuan kemanusiaan, dan rekonstruksi menjadi fokus utama, namun rakyat Gaza tetap hidup di bawah bayang-bayang kekerasan dan genosida hingga saat ini.
Meski tak dibahas oleh peserta, AS menekankan Hamas tidak boleh berperan dalam pemerintahan Gaza di masa depan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi rencana perdamaian, karena Hamas sendiri tidak hadir di konferensi, sehingga rakyat Gaza tidak memiliki suara dalam proses yang menentukan nasib mereka.
Rencana tersebut juga memasukkan konsep teknis seperti Yellow Line dan Red Line, yang membagi wilayah Gaza menjadi zona pengendalian Israel dan zona rekonstruksi. Garis-garis ini bukan hasil kesepakatan para peserta, melainkan inisiatif AS dan Israel, dengan mediasi terbatas dari Mesir dan negara regional lainnya.
Para peserta summit, meski menyatakan dukungan terhadap gencatan senjata, tidak pernah secara formal mengutuk genosida yang dilakukan Israel terhadap warga sipil Gaza, termasuk serangan yang menewaskan puluhan ribu orang. Banyak pihak melihat hal ini sebagai bentuk kompromi yang mengorbankan hak rakyat Palestina demi pragmatisme diplomatik.
Kritikus menilai, Gaza Peace Summit justru membuat negara-negara peserta “ikut berdosa”, karena mereka memberi legitimasi diplomatik pada rencana yang mengabaikan penderitaan rakyat Gaza. Summit tampak lebih sebagai alat politik daripada forum yang benar-benar menegakkan keadilan.
Menteri Luar Negeri AS menegaskan bahwa Hamas tidak bisa memerintah Gaza pascakonflik, namun pernyataan ini disampaikan kepada peserta summit sebagai konsensus teknis, bukan sebagai debat moral atau keputusan bersama. Posisi ini menimbulkan ketidakjelasan di mata publik Gaza mengenai siapa yang benar-benar mengontrol nasib mereka.
Yellow Line dan Red Line, meski teknis, menjadi simbol pengendalian luar terhadap Gaza. Warga sipil yang mengandalkan layanan publik dan akses kemanusiaan harus mengikuti batasan ini, yang dirancang tanpa partisipasi mereka.
Sementara itu, bantuan kemanusiaan yang dijanjikan kerap tertunda karena negosiasi antara Israel dan mediator internasional, dan rakyat Gaza tetap mengalami kekurangan pangan, listrik, dan layanan kesehatan. Ini menunjukkan bahwa summit lebih bersifat simbolis daripada solutif. Hingga hari ini pemboman dan pembantaian kepada warga Gaza tetap berlangsung, bedanya sudah tak menjadi headline media.
Para peserta summit juga terlihat menjaga kepentingan geopolitik masing-masing. Negara-negara yang memiliki hubungan dekat dengan Israel, seperti AS dan Mesir, memilih diplomasi pragmatis agar rencana perdamaian dapat berjalan, meski itu berarti mengabaikan sebagian tuntutan rakyat Gaza.
Beberapa negara Arab dan regional tampak berperan sebagai mediasi teknis, namun kritik muncul bahwa mereka tidak menekan Israel secara serius. Akibatnya, rakyat Gaza menilai forum ini hanya memperkuat ketidakadilan struktural.
Kehadiran Mahmoud Abbas dalam konferensi pun tidak banyak mengubah dinamika. Sebagai pimpinan Otoritas Palestina, Abbas memiliki kekuasaan terbatas di Tepi Barat, sementara Gaza tetap di bawah kontrol Hamas secara de facto. Meski selalu diremehkan, partisipasinya menunjukkan posisinya lebih tinggi dari Isarel dan Gaza.
Pengamat politik menekankan bahwa summit lebih menguntungkan Israel dan pihak internasional, karena memungkinkan mereka mengontrol proses rekonstruksi, membatasi peran Hamas, dan memposisikan diri sebagai mediator tanpa bertanggung jawab penuh terhadap dampak kemanusiaan.
Banyak warga Gaza merasakan kebingungan moral. Negara-negara peserta yang seharusnya hadir untuk menegakkan keadilan kini terlihat sebagai pihak yang memberi legitimasi pada situasi penindasan, meski secara formal mereka hanya membicarakan gencatan senjata dan bantuan.
Rencana teknis yang diusulkan AS dan Israel juga tidak menyelesaikan masalah akar konflik, termasuk hak pengungsi Palestina, kontrol atas perbatasan, dan pengakuan politik terhadap negara Palestina yang merdeka. Summit seolah mengalihkan perhatian dari isu utama ke masalah operasional.
Akibatnya, kritik terhadap Gaza Summit meningkat, baik di kalangan akademisi maupun aktivis kemanusiaan internasional. Mereka menilai bahwa forum ini lebih mirip pertunjukan diplomasi daripada upaya menyelesaikan konflik secara adil.
Media internasional mencatat bahwa setiap keputusan teknis dalam summit cenderung mengikuti agenda AS–Israel, sementara kepentingan rakyat Gaza hanya menjadi latar belakang. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah diplomasi semacam ini benar-benar untuk perdamaian atau hanya alat politik global?
Beberapa pengamat menyoroti bahwa Yellow Line dan Red Line menjadi simbol pengendalian eksternal, memaksa rakyat Gaza hidup di bawah batasan yang dibuat oleh pihak asing. Garis-garis ini bahkan membatasi akses ke wilayah penting untuk bantuan kemanusiaan dan rehabilitasi.
Akibatnya, summit tersebut memunculkan paradoks moral: negara-negara yang hadir ingin membantu, tetapi dibelokkan seakan memberikan legitimasi diplomatik pada ketidakadilan struktural yang terjadi di lapangan.
Kritikus menilai bahwa strategi ini mengaburkan tanggung jawab negara-negara peserta. Mereka ikut menjadi bagian dari proses yang secara praktis menguntungkan Israel dan melemahkan posisi rakyat Gaza.
Akhirnya, Gaza Peace Summit 2025 tetap menjadi simbol kontroversi. Meskipun dikemas sebagai upaya perdamaian, banyak pihak menilai bahwa forum ini lebih berfungsi sebagai alat manipulasi diplomatik, yang membuat negara-negara peserta tampak peduli, tetapi sesungguhnya rakyat Gaza tetap menjadi pihak yang dirugikan.


Tidak ada komentar
Posting Komentar